Buku_1

cover-negeri-spuNEGERI SANG PENCUCI UANG

Hak Cipta@ Dr. Yunus Husein, SH, LLM

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Dr. Yunus Husein, SH, LLM

Negeri Sang Pencuci Uang, Cet. 1 Jakarta: Pustaka

Juanda Tigalima, Agustus 2008

viii + 293 hlm + Bibliografi + Indeks, 14 cm x 21 cm 

ISBN 978-979-18386-0-3

 

RESENSI

Praktik pencucian uang yang cenderung merebak dan meluas di suatu negara atau teritori yang dikategorikan sebagai pusat keuangan bebas pajak (tax haven country), menurut penulis buku ini Yunus Husein, adalah suatu fenomena yang cukup aktual sampai saat ini. Tendensi yang demikian itu tidak terlepas dari kondisi yang berkembang di masing-masing negara, terutama karena semakin meningkat dan meluasnya tindak kejahatan yang memungkinkan tersedianya dana yang dapat dimanfaatkan oleh perseorangan, korporasi, ataupun pihak-pihak lain yang memerlukannya. Pada tax haven country ini juga berlaku hukum ekonomi klasik yaitu “permintaan” (demand) dan “penawaran” (supply). Dalam hal ini, di satu sisi terdapat individu, badan, lembaga, kelompok, organisasi, atau siapapun yang bertindak sebagai penyedia dana, sementara di sisi lain terdapat pula pihak yang mau menggunakannya. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa pasar keuangan global, regional, dan nasional memiliki andil sebagai penyedia, pemberi fasilitas atau kemudahan yang berpotensi sebagai penyedia sumber dana yang dianggap haram, gelap dan bersifat rahasia, atau lebih dikenal dengan istilah dirty money (uang kotor).

Dirty money bersumber dari berbagai tindak kejahatan yang melanggar, bertentangan atau menyimpang berdasarkan hukum yang berlaku di masing-masing negara. Dirty money masuk ke pasar keuangan melalui dan memanfaatkan berbagai sarana, prasarana, dan kemu-dahan yang ada sehingga menyebabkan potensi “penawaran” meningkat relatif terhadap “permintaan”. Akibatnya, “biaya atau harga” yang terbentuk (sesuai “sifatnya”) memiliki tingkat yang berbeda dengan harga dana yang berlaku di pasar uang normal. Dalam proses menjadikan dirty money menjadi seolah-olah legal, selain memerlukan waktu dan biaya, tetapi juga berisiko tinggi sehingga biaya yang harus dipikul oleh pemilik dana relatif besar. Begitupun, karena peluang untuk memasarkan dirty money telah terbuka karena proses “pencucian” sudah dilakukan, maka calon pengguna dirty money cukup berani untuk memanfaatkannya dengan “harga” yang lebih kompetitif, atau bahkan dapat lebih rendah dari harga yang terjadi di pasar uang yang wajar. Bagi pemilik dirty money, keuntungan (return) yang rendah tidaklah menjadi masalah, karena yang lebih penting ia sudah berhasil “mencuci uangnya”. Bahkan kalau diperlukan mengeluarkan biaya pun si pelaku pencuci uang juga bersedia. 

Salah satu metode yang digunakan oleh pelaku pencuci uang untuk mengubah dirty money menjadi dana yang seolah-olah legal, adalah offshore conversion. Para pencuci uang mengalihkan dirty money tersebut ke negara atau teritori yang disebut “tax haven country” dan disimpan di bank atau lembaga keuangan yang ada di wilayah tersebut. Selanjutnya dana itu digunakan antara lain untuk membeli aset atau investasi (fund investments). Negara atau teritori yang dikategorikan sebagai “tax haven country” ini biasanya memiliki hukum perpajakan yang lebih longgar, ketentuan rahasia bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis yang lebih mudah sehingga memungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, membentuk dan melakukan kegiatan usaha trust fund maupun badan usaha lainnya. Boleh dikatakan bahwa kerahasiaan inilah yang memberikan ruang gerak yang cukup leluasa bagi pergerakan dirty money melalui pusat-pusat keuangan bebas pajak yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Untuk melegalkan dirty money ini, biasanya kalangan profesi seperti pengacara, akuntan dan fund manager sangat berperan dengan memanfaatkan loophole yang ada pada ketentuan rahasia bank dan perusahaan. Adanya kerahasiaan dan perlindungan yang berlaku juga memungkinkan pemberian berbagai fasilitas dan jasa pelayanan untuk menghubungkan pembeli dan penjual dirty money. Kendati lalu-lintas “dana keuangan rahasia” (dirty money) dapat dideteksi melalui saluran-saluran formal, namun tetap saja terdapat sejumlah kendala dimana pihak otoritas masih tetap mengalami kesulitan melakukan deteksi dan pengawasan. Hal ini terjadi karena para pelaku kejahatan memiliki banyak cara dan upaya untuk menghindari peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku, terlebih-lebih di negara-negara yang para pejabat atau aparatnya ikut terlibat “bermain” di dalamnya. 

Pesatnya perkembangan dan kemajuan pusat-pusat keuangan bebas pajak (tax haven country) seperti sekarang (antara lain  Antigua, Bahama, Bermuda, Caymen Island, Panama, dan Antillen Belanda) telah membuat masyarakat internasional prihatin dan cemas karena pusat-pusat keuangan bebas pajak itu dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang yang pada gilirannya akan berakibat buruk terhadap sistem keuangan dan perekonomian dunia.  Misalnya pada tahun 1990-an, pencucian uang hasil-hasil kejahatan pernah dilakukan secara besar-besaran. Laporan yang dibuat oleh Kantor Teknologi Amerika Serikat antara lain menyebut-kan bahwa 0,05 sampai 0,1 persen dari sekitar 700.000 transfer elektronik setiap hari merupakan uang panas (hot money) yang nilainya mencapai 300 juta dollar AS. Setahun sebelumnya, United Nations International Drugs Control Programme (UNDCP) memperkirakan perputaran uang perdagangan narkotika setiap tahun mencapai 400 miliar dollar AS. Begitupun, uang hasil kejahatan terorganisir dan penggelapan uang diperkirakan beberapa kali lebih besar dibanding perdagangan narkotika. Dalam laporan International Narcotics Control Strategy Report of 1995 antara lain disebutkan bahwa, pelaku pencucian uang memanfaatkan pasar keuangan internasional karena institusi tersebut tidak memiliki geographic horizon, beroperasi 24 jam dan proses transaksi yang cepat secara elektronik melalui penggunaan electronic funds transfer (EFT) atau wire transfer.  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pusat-pusat keuangan bebas pajak dipenuhi oleh bank-bank “off-shore” dan perusahaan yang hanya ada di atas kertas, dimana aktivitas mereka yang sebenarnya berlangsung di pusat-pusat keuangan seperti London dan New York. Artinya mereka sepenuhnya sangat bergantung pada arus keuangan eksternal (pusat keuangan bebas pajak). Oleh sebab itulah pusat keuangan bebas pajak sering disebut sebagai parasit atau “macan kertas” yang sebagian besar kampanye iklan jasa keuangan mereka lakukan lewat majalah bisnis dan internet.  

Pusat-pusat keuangan bebas pajak ini memiliki arti penting dan tidak boleh dianggap remeh mengingat : pertama, pusat-pusat keuangan bebas pajak dan lembaga-lembaga keuangan lain yang beroperasi di yurisdiksi mereka sangat banyak. Di dunia ada sekitar 69 pusat keuangan bebas pajak dan mungkin akan bertambah lagi karena beberapa negara sangat tertarik untuk itu. Sebagai informasi tambahan, di Virgin Islands suatu teritori Inggris, jumlah perusahaan keuangan baru melebihi jumlah penduduk kepulauan itu; kedua, perputaran uang melalui pusat-pusat keuangan bebas pajak tersebut sangat fantastis. Contohnya, sembilan pusat keuangan di Karibia dihuni oleh sekitar setengah jumlah perusahaan asuransi dunia dan hampir 14 persen dari pengapalan barang dagang dunia. Selain itu, Kepulauan Cayman dipandang sebagai pusat finansial terbesar kelima setelah London, New York, Tokyo dan Hong Kong; dan ketiga, pusat keuangan bebas pajak tetap menarik karena dapat mengundang “uang panas” (hot money). Seperti di Antigua, siapapun yang mempunyai uang 1 juta dollar AS dapat membuka sebuah bank tanpa harus membuat laporan dan memenuhi ketentuan hukum lainnya, cukup hanya dengan sebuah ruangan yang dilengkapi mesin faksimili.  

Dalam perkembangannya kemudian terbukti bahwa eksistensi pusat-pusat keuangan bebas pajak menimbulkan keadaan kritis dalam kaitannya dengan kedaulatan negara. Cara sebagian besar negara dalam mendukung dan melegalkan operasinya mengundang perdebatan serius mengenai makna dan penerapan kedaulatan negara. Hak menentukan nasib sendiri (self-determination) dan kedaulatan negara adalah prinsip yang diakui secara internasional, namun persoalan kemudian muncul ketika kedaulatan negara menjadi sekedar komoditas yang bisa diperjualbelikan di pasar. Beberapa negara dan teritori melakukannya untuk melindungi privasi dan kerahasiaan pusat-pusat keuangan bebas pajak mereka. Akan tetapi prinsip kedaulatan yang mereka perluas itu tanpa mempertimbangkan dampak buruknya terhadap sistem keuangan dunia. Sebagai contoh, pada tahun 1990-an pemerintah negara Seychelles membuat undang-undang pembangunan ekonomi yang dapat mem-berikan status kewarganegaraan kepada orang yang menyimpan deposito 10 juta dolar AS atau lebih, namun ketentuan tersebut dicabut kembali setelah negara Seychelles mendapat kecaman dan tekanan internasional. 

Karena pusat-pusat keuangan bebas pajak ini sangat bergantung pada uang dari bebas pajak, maka mereka tidak dapat mandiri secara ekonomi. Contohnya, Liechtenstein bergantung pada Swiss, Monako pada Perancis, Kepulauan Virgin pada Amerika Serikat, dan Antilles pada Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak dukungan dari luar. Dalam beberapa kasus, pusat-pusat keuangan bebas pajak dibentuk oleh Inggris di daerah-daerah bekas koloni. Namun demikian Inggris juga bertindak tegas dengan memaksa Monsterrat untuk menutup sebagian besar bank bermasalah dari 300 bank miliknya.  

Pusat-pusat keuangan bebas pajak di dunia memiliki beberapa karakteristik antara lain tidak memiliki sistem kontrol nilai tukar, mudah mengkonversi mata uang asing, registrasi suatu perusahaan berlangsung secara instan, kerahasiaan bank dan perusahaan mendapat perlindungan hukum, memiliki piranti komunikasi yang canggih, perdagangan yang banyak dilakukan dengan wisatawan sehingga menimbulkan arus masuk uang tunai dalam jumlah besar, pemerintah yang relatif kebal dari tekanan dari luar, dan lokasi geografisnya cocok untuk memfasilitasi perjalanan bisnis. Di antara semua itu, komponen yang paling penting adalah ketentuan kerahasiaan bank. Seperti pada waktu yang lalu negara Swiss misalnya, secara jelas menyatakan kerahasiaan bank di bawah perlindungan negara dan undang-undang pidana memberikan perlindu-ngan kepada warga negara asing. Dengan adanya undang-undang itu, para pejabat bank dilarang membeberkan identitas dan transaksi nasabah, sekalipun kepada pemerintah Swiss. 

Dalam upaya membendung praktik pencucian uang, hambatan utamanya adalah ketiadaan kontrol yang ketat terhadap pergerakan devisa. Penghapusan hambatan dan kontrol terhadap arus keuangan dan perdagangan pada akhirnya membuat regulator mengalami kesulitan untuk mengawasi transaksi-transaksi keuangan. Keadaan menjadi lebih rumit lagi manakala perbankan berbasis internet yang tidak jelas yurisdiksinya. Dengan kata lain, inovasi dan kemajuan baru sistem keuangan dunia membantu kegiatan pencucian uang dan kejahatan keuangan.  

Pada tahun 1980-an, paling tidak 40 persen dari utang bebas pajak Amerika Serikat dilarikan ke pusat-pusat keuangan bebas pajak. Hal ini dapat terjadi karena penghapusan kendali devisa sehingga pemerintah Amerika Serikat tidak mampu lagi mengatur lalu lintas devisa. Situasi seperti itu sesuai dengan kehendak para pelaku pencuci uang dimana mereka dengan sangat mudah dapat memanfaatkan pusat-pusat keuangan bebas pajak untuk memindahkan uang hasil-hasil kejahatan ke berbagai penjuru dunia, sehingga aparat penegak hukum sudah pasti mengalami kesulitan untuk dapat melacak asal-usul dan keberadaan dirty money yang telah dicuci di pusat-pusat keuangan bebas pajak. Mengingat praktik pencucian uang berdampak sangat buruk terhadap sistem keuangan dan ekonomi sehingga lembaga dan organisasi internasional memandang perlu memerangi dan memberantas pencucian uang dengan menetapkannya sebagai seriuos crime. 

Negara yang mempelopori pembangunan rezim anti pencucian uang untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan mengkriminalisasi praktik pencucian uang, adalah Amerika Serikat. Memang pembangunan rezim anti pencucian uang untuk mencegah dan memberantas TPPU di setiap negara berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan dari setiap negara yang bersangkutan atau bagaimana suatu negara memberikan perhatian terhadap masalah pencucian uang. Di sejumlah negara, kebutuhan dalam membangun rezim anti pencucian uang dirasakan mendesak, antara lain karena pendekatan follow the money (“menelusuri aliran uang”) yang ditawarkan oleh rezim anti pencucian uang memudahkan aparat penegak hukum untuk mengungkap para pelaku, tindak kejahatan yang dilakukan dan sekaligus menyita hasil-hasil kejahatannya. Suatu negara yang berisiko tinggi terhadap pencucian uang tentu akan mengupayakan ketentuan perundang-undangan dan hukum yang lebih ketat dibandingkan dengan negara yang risikonya rendah. Namun kenyataannya tidak sedikit negara yang berisiko tinggi terhadap pencucian uang justru negara-negara tersebut tidak memiliki kebijakan yang cukup memadai untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.  

Amerika Serikat setiap tahun melakukan penilaian terhadap situasi praktik pencucian uang di 200 yurisdiksi. Pelaksanakan review termasuk penilaian atas transaksi-transaksi keuangan yang signifikan pada penyedia jasa keuangan (PJK) yang meliputi hasil-hasil kejahatan serius, langkah-langkah yang diambil maupun yang tidak diambil terkait financial crime dan money laundering, yurisdiksi-yurisdiksi yang mudah disusupi praktik pencucian uang, penyesuaian hukum dan kebijakan-kebijakan dengan standard internasional, efektifitas aksi-aksi yang telah dilakukan oleh pemerintah, dan political will pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan dalam upaya memerangi kejahatan keuangan dan pencucian uang.  

Di dalam International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) yang dipublikasikan oleh the Bureau for International Narcoticts and Law Enforcement Affairs (INSR) – US Department of State Washington D.C. pada bulan Maret 1996, sejumlah negara diklasifikasikan ke dalam suatu prioritas tertentu yaitu high, medium, low dan non priority sesuai dengan tingkat risikonya (potensi suatu negara sebagai tempat pencucian uang) dan sejauh mana negara yang bersangkutan melakukan upaya untuk mengatasinya. Beberapa ukuran yang dipakai dalam pengklasifikasian tersebut antara lain sebagai berikut  : (i) adanya payung hukum yang mengkriminalisasikan pencucian uang, yang tindak pidana asalnya merupakan keseluruhan atau beberapa tindak pidana serius seperti tindak pidana narkotika; (ii) ketentuan kerahasian bank yang ketat sehingga tidak dapat ditembus oleh aparat penegak hukum; (iii) minimnya persyaratan dalam bertransaksi keuangan dan atau adanya perlindungan terhadap anonymous, nominee, numbered or trustee accounts; (iv) tidak ada persyaratan dalam pengungkapan beneficial owner dalam suatu transaksi; (v) kurangnya pengawasan terhadap pertukaran mata uang; (vi) tidak adanya kewajiban untuk mencatat transaksi tunai yang besar; (vii) tidak adanya persyaratan untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan, atau kurangnya pedoman dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencuri-gakan; (viii) tidak terdapat regulasi dan pengawasan bagi lembaga keuangan non bank; (ix) terbatasnya kemampuan dalam membekukan atau menyita aset; (x) terbatasnya kemampuan dalam penegakan hukum narkotika dan money laundering; dan (xi) kemudahan dalam melakukan kerja sama internasional. Dengan menggunakan kriteria itu, kemudian database yang dimiliki INCSR (1986-1996) dianalisis dan hasilnya terdapat 17 negara yang tergolong high priority (Aruba dan the Netherlands Antiles; Caymand Island; Kolumbia; Cyprus; Jerman; Hongkong; Itali; Meksiko; Belanda; Panama; Rusia; Singapura; Swiss; Thailand; Turki; Inggris; dan Venezuela), medium (Antiqua dan Barmuda; Argentina; Austria; Brasil; China; Kostarika; Republik Dominica: India; Israel; Jepang; Liechtenstein; Luxemburg; Pakistan; Paraguay; Peru; Spanyol; Taiwan; Uruguay; dan Emirates Arab. Sedangkan negara-negara yang tergolong medium priority adalah Australia; Bahamas; Belgia; Belize; Bolovia; Burma; Chanel Island and Isle of Man; Chili; Czech Republik; Ekuador; Perancis; Gibraltar; Yunani; Guatemala; Hongaria; Indonesia; Korea; Libanon; Makao; Malaysia; Filipina; Polandia, St. Vincent; Granada; Afrika Selatan, dan Vanuatu.), low (Kamboja; Cote D’ Ivoire; Kuba; Denmark; Mesir; Jamaica; Maroko; Portugal; St. Kitts and Naves; Slovakia; Trinidad dan Tobago. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam low priority adalah : Afghanistan; Andora; Anquila; Azarbaizan; Barbador; Benin; British Virgin Island; Dominika; Elsalvador; Estonia; Finlandia; The French West Indies; Ghana; Guiana; Haiti; Honduras; Iran; Irak; Irlandia; Kenya; Kirgistan; Laos; Latvia; Lituania; Malta; Monaco; Mozambiq; Nepal; New Zealand; Norwegia; Romania; Srilanka; Seychells; Santa Lusia; Suriname; Swedia; Syria; Ukraina; Uzhbekistan; Vietnam; Western Samoa; Yugoslavia; Zambia; dan Zimbabue) dan non priority (Armenia; Bangladesh; Belarus; Bosnia; Croastia, Ethiopia; Grenada; Iceland; Yordania; Kazakstan; Liberia; Moldova; Nikaragua; Nauru; Korea Utara; Oman; Qatar; Slovenia; Swazland; Tajikistan; Trukmenistan; Truks and Kaikos; dan   Yaman).

Sedangkan International Narcotics Control Strategy Report (INCSR) 2008 memprioritaskan yurisdiksi-yurisdiksi yang dimanfaatkan sebagai tempat pencucian uang hasil-hasil kejahatan dengan menggunakan sistem klasifikasi yang terdiri atas tiga kategori yang berbeda yaitu: (i) Jurisdictions of Primary Concern (“yurisdiksi paling bermasalah”; (ii) Jurisdictions of Concern (“yurisdiksi bermasalah”); dan (iii) Jurisdictions Monitored (“yurisdiksi dalam pengawasan”). Pengertian Jurisdictions of Primary Concern adalah yurisdiksi yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan laporan INCSR sebagai major money laundering countries (“negara-negara utama pencucian uang”). 

Major money laundering countries adalah negara atau pemerintahan yang lembaga keuangannya melakukan transaksi keuangan yang cukup signifikan termasuk transaksi perdagangan narkotik internasional. Namun mengingat kompleksnya transaksi keuangan terkait praktik pencucian uang dalam berbagai kasus dewasa ini, sehingga cukup sulit untuk membedakan atau menentukan hasil perdagangan narkotik dengan hasil kejahatan serius lainnya Dengan demikian, dimana fokus analisis kajian apakah suatu negara atau yurisdiksi tergolong major money laundering country didasarkan pada signifikansi jumlah hasil pencucian uang, bukan berdasarkan hasil kegiatan pencucian uang (jadi berbeda dengan pendekatan FATF yang berfokus kepada kepatuhan yurisdiksi dengan kriteria yang jelas, kerjasama internasional dan alokasi sumber daya). 

Evaluasi yang dilakukan INCSR 2008 dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Jurisdiction of Concern (“yurisdiksi bermasalah”) dan Other Jurisdiction Monitores (“yurisdiksi lain dalam pengawasan”) berdasarkan sejumlah faktor meliputi: (i) apakah lembaga keuangan suatu negara terlibat dalam transaksi keuangan yang cukup signifikan terkait kejahatan serius; (ii) tingkat kerentanan yurisdiksi terhadap praktik pencucian uang, terlepas dari ada atau tidaknya tindakan-balasan terhadap pelaku pencuci uang; (iii) sifat situasi kegiatan pencucian uang dalam setiap yurisdiksi, misalnya apakah suatu yurisdiksi melibatkan narkotika atau tindak pidana lain; (iv) cara pendang Amerika Serikat terhadap situasi yang ada memiliki konsekuensi internasional; (v) dampak situasi dimaksud terhadap kepentingan Amerika Serikat; (vi) apakah yurisdiksi mengambil langkah legislatif yang wajar untuk mengatasi permasalahan khusus; (vii) apakah terdapat kelemahan perizinan serta kekeliruan lembaga dan organisasi keuangan; (viii) apakah undang-undang yang dimiliki yurisdiksi/pemerintah tertentu dilaksanakan secara efektif; (ix) apakah kepentingan Amerika Serikat terkait, seperti tingkat kerjasama antara pemerintah asing dengan lembaga pemerintahan Amerika Serikat. Selain itu, mengingat adanya kekhawatiran tentang meningkatnya korelasi antara lemahnya perundang-undangan pencucian uang dengan pembiayaan terorisme, sehingga aspek pembiayaan terorisme menjadi faktor tambahan di dalam membuat suatu kepastian apakah suatu negara harus dianggap sebagai other jurisdiction monitored atau jurisdiction of concern. Sebagai contoh, meskipun Amerika Serikat dan Inggris memiliki undang-undang anti pencucian uang yang lebih lengkap, namun kedua negara tersebut masih digolongkan sebagai jurisdiction of primary concern. 

Sejumlah fakta menunjukkan bahwa para pencuci uang mampu memasuki sistem keuangan dan menjadikan suatu yurisdiksi sebagai pusat pencucian uang yang potensial. Untuk itu memang belum ada ukuran kerentanan yang jelas bagi sistem keuangan dan tidak semua sistem keuangan yang rentan menumpuk volume hasil pencucian uang yang sangat besar. Walaupun demikian “daftar periksa” (checklist) yang sepertinya dicari oleh pengelola uang hasil perdagangan narkotik menjadi pedoman dasar antara lain meliputi : (i ) kelalaian mempidanakan pencucian uang atas semua kejahatan berat atau membatasi predicate crime secara sempit; (ii) ketentuan rahasia bank yang terlalu ketat sehingga menghambat proses penegakan hukum atau adanya pelarangan atau menghambat pelaporan transaksi keuangan dengan nilai yang terlalu besar dan/atau meragukan atau tidak wajar oleh bank atau lembaga keuangan non-bank; (iii) kurang atau lemahnya ketentuan “know your client” atau know your customer (KYC) pada waktu membuka rekening atau ketika melaksanakan transaksi keuangan, termasuk izin penggunaan trustee account (“rekening perwalian”) bernomor dari pemohon tanpa nama; (iv) tidak ada ketentuan untuk mengumumkan pemilik resmi rekening atau penerima transaksi sesungguhnya; (v) tidak efektifnya pemantauan pergerakan mata uang antar negara; (vi) tidak ada ketentuan untuk mencatat dokumen keuangan selama periode tertentu; (vii) tidak ada ketentuan tetap untuk melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan atau ketidaksesuaian pola pelaporan pada sistem sukarela (voluntary system), kurang seragamnya pedoman identifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan; (vii) sistem keuangan non-bank yang terlalu kokoh, terutama pada saat peraturan, pengawasan dan pemantauan tidak ada atau lemah; (ix) pola penghindaran pengawasan transaksi keuangan oleh pihak pengusaha; (x) kemudahan pendirian perusahaan, terutama bila kepemilikan usaha bisa dipertahankan melalui nominee atau pemilik, dimana perusahaan subsider bisa diakuisisi; (xi) tidak ada unit pusat pelaporan untuk menerima, menganalisis dan menyebarkan informasi kepada pejabat pemerintahan tentang transaksi keuangan dalam nilai yang besar, meragukan dan tidak wajar yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai praktik pencucian uang (Financial Intelligence Unit); (xii) kurang atau lemahnya pengawasan regulasi bank, atau kelalaian dalam menerapkan atau mematuhi ketentuan Basel Commitee tentang Core Principles for Effective Banking Supervision khususnya di beberapa yurisdikasi dimana lembaga moneter atau pengawas bank tidak memiliki staff yang ahli untuk itu; (xiii) pusat keuangan asing yang terlalu kokoh atau sistem perbankan yang melindungi pajak terutama yurisdiksi dimana bank dan rekening bisa dibuat dengan cepat dibuat tanpa investigasi mendalam; (xiv) operasional perbankan asing yang terlalu luas, terutama bila ada aktivitas wire transfer yang signifikan atau menjamurnya cabang bank asing, atau keterbatasan wewenang audit atas bank atau lembaga milik asing; (xv) yurisdiksi dimana organisasi amal atau banyaknya sistem remisi transfer dana karena adanya sifat ketidak-teraturan dan tanpa pengawasan, yang digunakan sebagai jalur untuk pencucian uang atau pendanaan terorisme; (xvi) terbatasnya penyitaan harta atau kuasa sita; (xvii) lemahnya penegakan hukum terhadap pencucian uang dan kejahatan keuangan serta kurangnya petugas penyidik atau pengawas terlatih; (xviii) yurisdiksi dengan zona perdagangan bebas dimana wewenang pemerintah dan lembaga pengawas lainnya hanya sedikit; (xix) adanya akses tetap ke pusat perdagangan emas internasional di New York, Istambul, Zurich, Dubai dan Mombai; (xx) yurisdiksi dimana terdapat transaksi atau ekspor emas, berlian, dan batu permata (mutiara) secara signifikan; (xxi) yurisdiksi dengan ekonomi pasar ilegal (black market); dan (xxii) keterbatasan atau ketidakmampuan berbagi informasi keuangan dengan lembaga penegak hukum asing. 

Indonesia dan 28 negara lain dalam INCSR 1996 digolongkan sebagai medium priority sedangkan dalam INCSR 2008, Indonesia dan 58 negara lainnya dikategorikan sebagai jurisdiction of primary concern. Artinya, selama satu dekade lebih atau sekitar 12 tahun lamanya Indonesia masih tetap menjadi yurisdiksi yang cukup rentan terhadap aktivitas pencucian uang. Berdasarkan INCSR 2008, Indonesia dipandang masih tetap rentan terhadap praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme karena regulasi sistem keuangan yang terbatas, cash-based economy, penegakan hukum yang tidak efektif dan meluasnya praktik korupsi. Praktik pencucian uang umumnya berkaitan dengan aktivitas yang bukan kejahatan narkotika, antara lain seperti perjudian, prostitusi, kejahatan perbankan, pencurian, credit card fraud, kejahatan di bidang kelautan, penjualan barang-barang terlarang, illegal logging dan korupsi. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejarah panjang tentang penyelundupan yang difasilitasi oleh ribuan mil garis pantai yang tidak terkontrol, dan infrastruktur para penegak hukum yang terkontaminasi praktik korupsi. Hasil-hasil dari berbagai aktivitas kejahatan ditempatkan di luar negeri dan yang kembali hanya untuk memenuhi kebutuhan komersial dan personal.  

Sehubungan dengan itu, Indonesia pernah berada dalam NCCTs List selama kurang lebih lima tahun, dimana FATF memasukkan Indonesia dalam NCCTs List pada bulan Juni 2001 dan baru bisa keluar dari NCCTs List pada 11 Februari 2005. Dengan keluarnya Indonesia dari NCCTs List merupakan “angin segar” ditengah-tengah upaya memulihkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Namun prestasi tersebut bukanlah akhir dari semua upaya yang telah dilakukan, melainkan menjadi “titik awal” bagi sebuah perjalanan panjang untuk dapat membangun rezim anti pencucian uang Indonesia yang semakin kokoh dan efektif di masa depan. (EN) 

 

Buku ini tersedia pada Koperasi Juanda Tiga Lima (KODAGAMA) Jakarta.

Hubungi :

Haryono Budhi Pamungkas

Telp. (021) 3850455, 3853922 ext. 3049

E-mai : haryono.budhi@ppatk.go.id

Budi Saiful Haris

Telp. (021) 3850455, 3853922 ext. 4006

E-mail : budi.saiful@ppatk.go.id

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed